Senin, 29 Maret 2010

CAMERON MOTT ... (an amazing little girl)

Living with Half a Brain


When Cameron Mott was three years old, she contracted a rare and deadly brain disorder; Rasmussen's Encephalitis. The disease is eating away at her brain and she's plagued by fits. Her parents are desperate and have opted for the only available cure, a radical high-risk operation to remove the diseased half of her brain.
Cameron lives with her sister Caroline and her parents Casey and Shelley in Jamestown, North Carolina.
For the first few minutes of every day, she's like any other six year old; lucid and able to play. But, within an hour of waking, her epilepsy strikes. Surges of electricity in Cameron's brain are causing her nervous system to misfire. Her seizures are tonic causing her muscles to stiffen and contract, and she temporarily loses consciousness.
With a prolonged seizure, her parents have to medicate her to bring her round. The seizures are caused by Rasmussen's Encephalitis, a debilitating condition that affects less than one in a thousand children. At her worst, Cameron has fifteen seizures a day. Her fits are so unpredictable, they rob her of any chance of a normal life.

Cameron has to wear a specialised helmet to protect her from the constant threat of head trauma. Doctors are unsure what causes Rasmussen's, but in each case the brain becomes chronically inflamed, destroying the brain cells. As the disease spreads through Cameron's right hemisphere it affects the opposite side of her body, gradually paralysing her left hand side and causing her mental faculties to deteriorate. The daughter that Casey and Shelley Mott loved was beginning to disappear.

Untreated, Cameron's disease will continue to eat away at her brain leading to severe handicap and brain damage. The only cure is a hemispherectomy, a radical operation to remove the diseased right-half of her brain. Dr George Jallo a neurosurgeon comments "For many years, this procedure wasn't practised because of the risks of the surgery".

Shelley and Casey have to weigh up the cost of removing one half of Cameron's brain. She'll be left with a hemiplegia, a stroke-like effect on the left side of her body. But, without the surgery the disease will continue to spread and she'll never be seizure free. The operation is the last resort.

Cameron Mott will be treated 400 miles away at a leading paediatric neuro facility; The John Hopkins Children's Centre in Baltimore. The hemispherectomy is one of the most radical procedures in neurosurgery. Dr George Jallo is a specialist in paediatric hemispherectomies; he performs up to nine each year. During the surgery, Cameron will be monitored by anaesthetist Marco Ramiro and the operation will take between seven and twelve hours.

As Dr Jallo removes the front of the skull, the damage beneath the dura mater becomes apparent. The membrane, normally translucent, is tough and opaque, a sign of inflammation. As he folds back the dura mater he gets a first glimpse of Cameron's brain "When I opened up the dura I could see the brain was atrophic, there were parts of it that were dying".

A hemispherectomy is a delicate and intricate operation. The surgeon must work piece by piece to navigate through the dense network of veins and arteries inside the brain. An accidental cut could cause a lethal haemorrhage. Jallo must send large chucks of brain to the pathology lab to confirm Rasmussen's

Jallo removes the right hemisphere, working systematically towards the back of the brain. The tissue that can't be removed in chunks is drawn out through a suction pipe until the right-side of Cameron's brain is emptied. In a crucial part of the operation the surgeon has to leave a small piece of the brain to protect the fragile area surrounding Cameron's spinal cord. But, leaving even a tiny part of the infected brain could lead the seizures to return. He must also sever the corpus callosum, the band of nerve fibres located deep in the brain that connected the two halves.

The cavity on the right side of Cameron's head will fill with cerebral fluid at a rate of one teaspoonful every five minutes. Cameron will be closely monitored. Excess build up of the fluid, a condition called hydrocephalus, can put dangerous levels of pressure on the remaining half of her brain. To prevent bleeding, a white powdered clotting agent is tipped into the space. After eight hours, the surgery is complete 
For the next 48 hours, Cameron's head must be kept completely still so that the remaining half of her brain isn't dislodged. Cameron's journey to recovery will now begin.

Medical evidence shows that a young child's brain has the remarkable ability to reorganise itself, transferring skills normally undertaken by one half of the brain to the other. A process called plasticity. No-one knows exactly how this happens. The hope is that as the Rasmussen's has attacked the right hemisphere, it's functions will now shift to the left. All the doctors can do now is wait to see if the remaining left hemisphere will learn to move the left-hand side of her body and adapt fully enough to allow her to lead a full and active life.

Only 9 or 10 days later, Cameron is showing excellent signs of recovery. She is walking on a treadmill, where Dr Amy Bastion is trying to train her to walk without a limp "What we're interested in doing here is being able to train these kids from right after the surgery. These kids, initially of course, can't move their leg, but rapidly they begin to be able to stand and bear weight and walk, but their walking pattern is asymmetric, so we're trying to train out the limp, from the start, so she never establishes the abnormal pattern".

Cameron has shown extraordinary courage and its beginning to pay off. Each day brings new evidence that her brain is recovering.

from : http://www.mymultiplesclerosis.co.uk/misc/cameron-mott.html

Jumat, 19 Maret 2010

THE MESSAGE (psikologi sosial)


Reason versus Emotion
Manakah yang lebih memberikan pengaruh- reason atau emotion? Jawabannya itu tergantung dari pendengarnya sendiri. Orang yang berpendidikan  tinggi atau seseorang yang analitis akan lebih responsif terhadap  daya pikat rasional daripada orang yang kurang berpendidikan dan kurang analitis (Cacioppo & others, 1983, 1996; Hovland & others, 1949). Pendengar yang memiliki kemampuan berpikir yang baik akan bergerak pada rute central; mereka akan lebih responsif terhadap argumen-argumen yang logis. Pendengar yang tidak tertarik agak bergerak pada rute periferal; mereka lebih dipengaruhi oleh seberapa besar mereka menyukai komunikator (Chaiken, 1980; Petty & others, 1981).
Salah satu contoh  dari reason versus emotion ini terdapat dalam kasus memutuskan berdasarkan interview yang diadakan sebelum pemilihan umum. Pengambilan suara untuk mengetahui kecendrungan untuk memilih lebih dapat diprediksikan melalui reaksi-reaksi emosional terhadap para kandidat daripada keyakinan mereka teradap sifat dan tingkah laku kandidatnya (Abelson & others, 1982). Salah satu yang menjadi permasalahan yaitu bagaimana sikap seseorang ditampilkan. Ketika sikap awal seseorang ditampilkan pada mulanya melalui emotion, mereka lebih diyakinkan nantinya oleh daya pikat emotional; ketika sikap awal mereka ditampilkan pada mulanya melalui pikiran logis, mereka nantinya lebih diyakinkan oleh argumen-argumen intelektual (Edwards, 1990; Fabrigar & Petty,1999). Emosi-emosi yang baru akan mempengaruhi sikap yang berdasar pada emosi tersebut. Akan tetapi jika ingin mengubah sikap yang berdasarkan pada informasi, maka dibutuhkan informasi yang banyak pula.
The effect of good feelings
Pesan akan lebih persuasive jika  diasosiasi dengan perasaan yang baik. Irving Janis dan rekan-rekannya (1965; Dabbs & Janis, 1965) menemukan bahwa mahasiswa Yale lebih teryakinkan oleh peasn persuasive jika mereka diijinkan untuk menikmati kacang dan pepsi selama mereka membaca oesan tersebut. Sama halnya, mark Galizio dan Clyde Hendricks (1972) menemukan bahwa mahasiswa Kent State University lebih tergugah oleh lirik lagu rakyat bila diiringi oleh music gitar yang menyenangkan daripada yang tidak.
Perasaan yang baik seringkali menambah persuasi- sebagian oleh menambah pemikiran positif (jika seseorang termotivasi untuk berpikir) dan sebagian lagi dengan menghubungkan perasaan baik tersebut dengan pesan (Petty & others, 1993). Jika seseorang berada dalam mood yang baik, maka orang tersebut memandang dunia melalui kacamata bening. Mereka juga akan lebih cepat, lebih menuruti kata hati, mereka lebih bergantung pada petunjuk-petunjuk periferal (Bodenhausen,1993); Schwartz & others,1991). Orang yang tidak bahagia akan lebih  merenung sebelum mereka bertindak, sehingga mereka kurang dengan mudah terpengaruhi oleh argument-argumen yang lemah. Oleh karena itu, jika kita tidak dapat menampilkan alasan yang meyakinkan, maka buatlah pendengar tersebut berada dalam mood yang baik dan berharap mereka akan merasa cocok dengan pesan yang disampaikan tanpa harus memikirkannya lebih mendalam.
The effect of arousing fear

Persoalan rasa takut ini lebih kompleks. Teori belajar menyatakan bahwa pesan yang membangkitkan rasa takut akan diterima bila komunikasi pesan itu menawarkan rekomendasi untuk mengurangi rasa takut. Tetapi, bukti empiris juga menunjukkan bahwa level rasa takut juga harus dipertimbangkan. Peningkatan rasa takut biasanya meningkatkan efektifitas komunikasi persuasive. Apabila muncul rasa takut yang berlebihan, efeknya mungkin malah mengabaikan atau malah menolak pesan. Pada level moderat, argument yang membangkitkan rasa takut dapat lebih efektif untuk menghasilkan perubahan sikap ketimbang argument yang menyebabkan sedikit sekali rasa takut atau  yang tidak menimbulkan ketakutan (Janis, 1967).
            Keberhasilan persuasi dengan membangkitkan rasa takut akan bergantung pada factor lain. Salah satunya adalah apakah pesan tersebut memberikan ekspektasi kepastian. Jika sebuah pesan menyediakan informasi mengurangi rasa takut, maka pesan akan lebih efektif. Factor lainnya adalah apakah topic pesan relevan dengan rasa takut itu. Meskipun rasa takut yang besar terkadang mengikis perhatian dan menyulitkan orang mempelajari informasi penting, selama komunikasi persuasive itu jelas relevan dengan sumber rasa takut , maka pesan itu akan diperhatikan dan diproses lebih cermat (Sengupta &Johar 2001). Akan tetapi, relevansi pesan yang dipadukan dengan rasa takut yang tinggi, mungkin akan menyebabkan orang menggunakan petunjuk heuristic pada pesan itu yang boleh jadi akan menimbulkan bias saat mereka merespon informasi itu (Sengupta&Kohar). Ringkasnya, ketika orang merasa takut , mereka mungkin berusaha memproses pesan yang relevan dengan rasa takut itu secara lebih sistematis. Namun, boleh jadi juga mereka melakukan bias dalam pemrosesan karena mereka merasa sangat takut.
            Banyak periset kini menganut kerangka ekspektasi nilai untuk memahami efek rasa takut terhadap persuasi. Kerangka ini menggunakan sifat dari kejadian yang menakutkan, kerentanan seseorang, dan efektifitas saran yang direkomendasikan.  Perspektiv ini (Levanthal,1970) memprediksikan bahwa rasa takut akan menimbulkan perubahan sikap jika seseorang mudah merasa takut atau ketika seseorang tidak ada cara untuk mengurangi rasa takut (misalnya, Das, Wit & Stroeboe,2003).  

Discrepancy
Salah satu faktu utama yang memengaruhi sejauh mana kita mau menerima komunikasi (pesan) adalah seberapa besar perbedaan komunikasi itu dengan pendapat kita.. secara umum, semakin besar diskrepansi , semakin besar tekanan potensial untuk berubah (Hovland & Pritzker,1957). Tetapi, pernyataan sumber (misalnya Eagly & Telaak,1972; Freedman,1964). Dua poin memprediksikan hubungan berbentuk U antara diskrepansi dan perubahan sikap, yakni bahwa perubahan sikap relatif kecil akan terjadi dalam komunikasi dengan tingkat diskrepansi moderat (menengah).
Kredibilitas yang lebih besar cenderung memungkinkan komunikator untuk mengemukakan opini yang diskrepan secara lebih sukses karena opini tidak bisa akan ditolak dengan mudah. Sebaliknya, opini dari sumber berkredibilitas rendah akan mudah ditolak; karenanya, perubahan sikap maksimum cenderung terjadi pada level diskrepansi yang lebih rendah. Prediksi ini didukung oleh temuan studi dari Bochner dan Insko (1966). Mereka meminta peraih hadiah Nobel (berkreedibilitas tinggi) dan pengajar di YMCA untuk memberikan pesan tentang jumlah rata-rata jam tidur yang dibutuhkan oleh seseorang. Seperti diprediksikan, ada lebih banyak perubahan opini tentang lamanya tidur yang dibutuhkan orang pada level diskrepansi yang moderat ketimbang pada level diskrepansi  yang lebih tinggi. Selain itu, seperti telah diduga, level diskrepansi optimal dicapai oleh sumber dengan kredibilitas tinggi. Pengajar di YMCA bisa memicu perubahan sikap saat dia mengatakan bahwa orang butuh setidaknya 3 jam untuk tidur, tetapi sumber yang berkredibilitas tinggi menghasilkan perubahan sikap maksimum saat dia mengatakan bahwa orang hanya perlu tidur 1 jam.
Diskrepansi memengaruhi cara pesan dipahami. Saat sebuah pandangan yang diskrepan cukup dekat dengan pandangan audien, pesan itu akan dianggap lebih dekat ketimbang yang sebenarnya. Ini dinamakan “asimilasi”. Melebih-lebihkan kedekatan pandangan yang diskrepan  memudahkan untuk mereduksi diskrepan yang kecil atau bahkan menghilangkan kebutuhan untuk  berubah dengan menganggap dua pandangan itu sama. Di sisi lain, ketika pandangan dari sumber pesan sangat berbeda dengan pandangan audien, pandangan itu dianggap lebih berbeda ketimbang yang sebenarnya. Proses ini dinamakan contast (kontras). Ketika sebuah pandangan dianggap ekstrem, ia mungkin dianggap lebih ekstrem dari yang sesungguhnya dan komunikatornya akan cepat didiskreditkan (Hovland, Harvey, & Sherif, 1957).

One side versus two side appeals
Isu praktis yang dihadapi oleh orang yang melakukan persuasi antara lain bagaimana untuk menangani argument yang bertentangan. Common sense tidak memberikan jawaban yang jelas. Mengakui adanya argumen yang bertentangan akan membuatpara pendengar menjadi bingung dan akan melemahkan suatu permasalahan. Di lain pihak, suatu pesan terlihat lebih adil dan menjadi lebih diserap bila mengenalkan argument-argumen yang berlawanan tersebut. Daya pikat satu pihak paling efektif terhadap orang yang telah menyetujui pesan tersebut. Sebaliknya, daya pikat dimana pengakuan terhadap argumen yang berlawanan bekerja lebih baik bagi orang yang berbeda pendapat.
Eksperimen juga menyebutkan bahwa jika seseorang  mengetahui argument-argumen yang bertentangan, presentasi dua pihak akan lebih persuasif dan lebih tahan lama (Jones & Brehm, 1970; Lumsdaine & Janis, 1953). Secara jelas,pesan satu pihak merangsang pendengar yang diberitahukan untuk berpikir argumen yang bertentangan dan untuk melihat kebiasan komunikator. Contoh kasus yang berkenaan dengan hal ini salah satunya adalah kandidat politik yang berpidato. Kandidat politik yang berpidato di depan kelompok yang diberi informasi, akan lebih bijak jika menanggapi oposisinya.

Primacy versus recency
Primary effect mengatakan bahwa informasi yang diungkapkan paling awal akan lebih persusif. Impresi pertama itu penting. Sedangkan, recency effect menyebutkan bahwa informasi yang diungkapkan terakhir kali kadangkala memili pengaruh yang paling besar. Recency effect ini juga kurang umum dibandingkan dengan primacy effect. Pada saat pesan yang disampaikan itu back to back dan pendengar memberi tanggapan di waktu nantinya, pesan yang pertamalah yang memiliki keuntungan, ini disebut dengan primacy effect. Pada saat dua pesan yang berbeda waktu dan pendengar menanggapinya segera setelah pesan kedua, pesan kedualah yang memiliki keuntungan, disebut dengan recency effect.